Find us on Facebook & Twitter

Pages

 

Thursday 27 December 2012

Dampak Revolusi Industri Bidang Sosial

0 comments

Industrialisasi sejak semula sangat berkaitan dengan masalahmasalah sosial-kemasyarakatan. Adanya perbedaan pendapatan ekonomi cenderung membuat manusia mengukur segala sesuatu dengan mahal-murahnya harga sesuatu. Dengan perbedaan tersebut, muncullah diskriminasi sosial yang tidak manusiawi. Selain itu, ada pula dampak positif dari Revolusi Industri ini, yaitu dibukanya jalur transportasi darat yang baru rel kereta api guna mempercepat proses mobilisasi dan penyampaian informasikomunikasi. a. Diskriminasi Sosial
Dalam bidang sosial terjadi perbedaan yang mencolok antara golongan Barat atau Belanda dengan golongan pribumi. Dalam bidang pemerintahan juga terjadi diskriminasi, pembagian kerja dan pembagian kekuasaan didasarkan pada warna kulit. Orang pribumi yang mendapatkan jabatan pastilah jabatan rendah dan dibatasi kekuasaannya. Diskriminasi juga terjadi di kalangan militer. Untuk pangkat yang sama, gaji orang Indonesia yang berdinas dalam militer Belanda lebih rendah daripada gaji anggota militer Belanda. Bahkan diadakan pula perbedaan gaji antara serdadu Ambon dan serdadu Jawa. Diskriminasi berlaku juga di tempat hiburan. Ada tempat-tempat yang tidak boleh dimasuki oleh orang Indonesia, seperti tempat pemandian, restoran bahkan pada angkutan umum, seperti kereta api lintas-kota atau trem (kereta api dalam kota).
Rupanya para penggagas Politik Etis hendak menciptakan hubungan yang harmonis antara Belanda dan golongan pribumi, namun kesamaan pandangan yang diharapkan ternyata tak berbuah seperti yang diharapkan. Orang-orang Indonesia yang telah mendapatkan pendidikan dari Belanda, semakin menyadari tentang arti penting kemerdekaan yang pada akhirnya mereka menjadi pemuda-pemuda pergerakan kemerdekaan Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa diskriminasi berdasarkan ras menjadi salah satu faktor lahirnya pergerakan nasional.
b. Dibangunnya Jalur Transportasi Darat
Revolusi Industri secara tidak langsung berdampak pula dalam hal transportasi di Indonesia, terutama darat. Untuk mempermudah mobilitas penduduk dan perdagangan, pemerintah Hindia Belanda membangun jalur kereta api di Pulau Jawa. Hal ini dilakukan guna mempercepat hubungan komunikasi dan dagang. Untuk daerah pegunungan yang banyak terdapat perkebunan (misalnya di Jawa Barat), dibangun khusus jalur kereta api untuk mengangkut hasil bumi ke kawasan pabrik guna diolah menjadi bahan setengah jadi atau jadi. Sesungguhnya jalur darat telah dibuka sejak masa Daendels memerintah Jawa, yaitu dengan dibukanya rute baru: Anyer- Panarukan yang membelah Pulau Jawa pada awal abad ke-19. Dengan tujuan semula untuk mempercepat proses informasikomunikasi antarkantor pos, maka Jalan Raya Pos (The Grote Postweg) ini pada masa selanjutnya berguna pula untuk jalur mobilitas penduduk yang ingin ke luar kota atau pulau.
c. Mobilitas Penduduk dan Masalah Demografi
Industrialisasi mengakibatkan perpindahan penduduk dari desa ke kota-kota besar. Berdirinya pabrik-pabrik telah mendorong kehidupan baru dalam masyarakat Indonesai yang sebelumnya masyarakat agraris dan maritim. Terbentuklah komunitas pekerja kasar dan buruh yang bekerja di pabrik-pabrik partikelir (swasta). Kota-kota besar, terutama Jakarta dan Surabaya, merupakan tempat tujuan orang-orang untuk mengadu nasib.
Untuk mendapatkan pegawai-pegawai semacam juru ketik atau tulis yang murah maka pemerintah kolonial membangun sekolah-sekolah kejuruan guna menghasilkan tenaga-tenaga ahli dari pribumi yang tentunya jauh lebih murah honornya bila dibandingkan tenaga ahli dari Eropa. Tenaga tulis/ketik tersebut selain dipekerjakan di instansi pemerintahan, juga dipekerjakan pegawai rendah di perkebunan pemerintah. Pada masa pelaksanaan ekonomi liberal sekolah didirikan untuk tujuan yang sama. Pada 1851, didirikan sekolah dokter pertama di Jawa yang sebenarnya merupakan sekolah untuk mendidik mantri cacar atau kolera. Maklum kala itu kedua penyakit tersebut sering menjadi wabah di beberapa daerah. Sekolah “mantri” tersebut kemudian berkembang menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandse Artsen) atau sekolah dokter pribumi.
Munculnya sekolah-sekolah ala Eropa di Jawa, khususnya Batavia dan Bandung, menggiring orang-orang dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan tempat-tempat lainnya berdatangan ke Jawa. Orang-orang di Jawa pun, terutama anak-anak priyayi dan bangsawan atau pedagang kaya yang memiliki biaya lebih, berbondong-bondong datang ke Jakarta dan Bandung yang saat itu memiliki sekolah setingkat perguruan tinggi (THS dan STOVIA). Perpindahan atau mobilitas kaum terpelajar tersebut tentunya sangat memengaruhi populasi kota. Perubahan demografis cukup mecengangkan.
Comments

0 comments:

Post a Comment